Gambaran Kondisi Stunting di Kota Palopo
Di Kota Palopo ditemukan faktor determinan yang menjadi kendala terbesar penurunan stunting. Faktor determinan pencetus terjadinya stunting di Kota Palopo adalah adanya kebiasaan merokok yaitu sebanyak 277 orang, dengan kasus tertinggi berada di Kecamatan Telluwanua yaitu sebanyak 98 orang.
Faktor determinan terbesar kedua adalah masih terdapatnya riwayat ibu hamil sebanyak 61 oang, dan yang tertinggi ada di Kecamatan Telluwanua yaitu sebanyak 20 orang. Faktor determinan lainnya adalah adanya penyakit penyerta pada balita yaitu sebanyak 8 orang, serta masih adanya keluarga yang bermasalah dalam hal ketersediaan air bersih yang ada di wilayah kecamatan sendana.
Untuk infeksi kecacingan pada balita tidak ada, dan kepemilikan jamban sehat serta kepemilikan JKN pada semua kecamatan di Kota Palopo, tingkat rumah tangga sudah memiliki Jamban sehat dan Kartu JKN.
Selain itu, juga terdapat beberapa perilaku kunci yang membutuhkan perhatian yaitu perilaku merokok, dari data diatas (tabel 2) menunjukkan bahwa sebanyak 277 keluarga mempunyai kebiasaan merokok, dimana kebiasaan merokok merupakan faktor determinan penyumbang kasus stunting pada balita. Perilaku merokok dipengaruhi oleh beberapa hal seperti kepercayaan masyarakat, pekerjaan, dan pendapatan keluarga.
Perilaku merokok dapat menyebabkan terjadinya stunting pada balita baik secara langsung melalui paparan asap rokok maupun secara tidak langsung melalui pengalihan biaya belanja makanan menjadi biaya belanja rokok. Perilaku merokok dipengaruhi oleh beberapa hal seperti kepercayaan masyarakat, pekerjaan, dan pendapatan keluarga. Perilaku merokok dapat menyebabkan terjadinya stunting pada balita baik secara langsung melalui paparan asap rokok maupun secara tidak langsung melalui pengalihan biaya belanja makanan menjadi biaya belanja rokok.
Faktor Determinan yang lain adalah riwayat ibu hamil sebanyak 61 kasus dimana berdasarkan data Komdat (Laporan Dinas Kesehatan per Oktober Tahun 2022) kasus terbanyak adalah ibu hamil KEK 277 orang (7,9 %) dan Anemia sebanyak 60 orang (1,71 %), berdasarkan beberapa hasil penelitian mengatakan ada hubungan yang signifikan antara hubungan kurang energi kronik pada ibu hamil dengan kejadian stunting.
Ibu yang mengalami kekurangan energi kronik, memiliki risiko mempunyai balita stunting sebesar 27,4% dibandingkan dengan balita yang tidak mengalami stunting (Sukmawati, dkk, 2018). Faktor dari orang tua yang menjadi penyebab stunting dilihat pada kondisi ibu saat hamil yaitu ukuran lingkar lengan atas (LILA) yang menggambarkan Kurang Energi Kronik atau KEK, indeks masa tubuh, dan tinggi badan. Status gizi ibu pada masa sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung.
Bila status gizi ibu normal pada masa sebelum dan selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan dengan berat badan normal, dengan kata lain kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi ibu sebelum dan selama hamil. (Dalam jurnal luar negeri menurut Chopra, 2013). Penelitian yang dilakukan Ema Wahyu Ningrum (2017), yang berjudul status gizi kurang energi kronik (kek) dengan berat badan dan panjang badan bayi baru lahir, didapatkan hasil sebagian besar ibu hamil dengan KEK melahirkan bayi dengan panjang badan pendek 11 bayi (55%) dan sebagian besar ibu hamil tidak KEK melahirkan bayi dengan panjang badan normal 17 bayi (85%).Ibu dengan KEK berisiko melahirkan bayi dengan panjang badan pendek 6,296 kali dibanding ibu tidak KEK (95%CI;1,529- 31,377).
Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang mengalami kekurangan energi kronis atau mengalami masalah gizi dalam waktu yang lama diikuti juga oleh masalah kekurangan gizi dalam Penyebab stunting diantaranya adalah hambatan pertumbuhan dalam kandungan, asupan zat gizi yang tidak mencukupi untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang cepat pada masa bayi dan anak-anak serta seringnya terkena infeksi selama masa awal kehidupan, anak memiliki panjang badan yang rendah ketika lahir, anak yang mengalami berat lahir yang rendah pada saat dilahirkan dan pemberian makanan tambahan yang tidak sesuai menurut usia disertai dengan konsistensi makanannya serta status gizi ibu saat hamil (Kusuma, 2013 dalam jurnal Sukmawati, dkk, 2018).
WHO (2013) penyebab terjadinya stunting pada anak yaitu faktor maternal berupa nutrisi yang kurang pada saat kehamilan, tinggi badan ibu yang rendah, kehamilan usia remaja, IUGR, berat badan lahir, kehamilan preterm, jarak kehamilan yang pendek dan hipertensi, faktor lingkungan rumah berupa stimulasi dan aktivitas anak yang tidak adekuat, makanan komplementer tidak adekuat, pemberian ASI yang salah seperti tidak ASI Eksklusif dan infeksi (Fikawati, 2017;h.280). Berbagai ahli menyatakan bahwa stunting merupakan dampak dari berbagai faktor.
Faktor sebelum kelahiran seperti gizi ibu selama kehamilan dan faktor setelah kelahiran seperti berat bayi rendah, asupan gizi anak saat masa pertumbuhan, sosial- ekonomi, ASI Eksklusif, penyakit infeksi, pelayanan kesehatan, dan berbagai faktor lainnya yang berkolaborasi pada level dan tingkat tertentu (Fikawati, 2107;h.280).
Upaya pemerintah dalam menanggulangi ibu hamil dengan resiko Kurang Energi Kronik menurut (Kemenkes RI, 2013;h.15) yaitu dengan cara meningkatkan pendidikan gizi ibu hamil tentang Kurang Enerrgi Kronik melalui pemberian Komunikasi Informasi Edukasi (KIE), memberikan pelayanan gizi dan pelayanan KIA (Kesehatan Ibu Anak) pada ibu hamil berupa pemberian tablet Fe, melakukan skrining terhadap ibu hamil resiko Kurang Energi Kronik, dan Pemberian Makanan Tambahan PMT bagi ibu hamil dengan resiko Kurang Energi Kronik melalui bimbingan gizi dan KIA secara berjenjang.
Dan berdasarkan data Komdat pada laporan Dinas Kesehatan Kota Palopo, menunjukkan bahwa ibu hamil yang anemia sebanyak 60 orang (1,71 %). salah satu faktor yang menyebabkan stunting dan BBLR adalah ibu hamil yang mengalami anemia. Anemia pada ibu hamil meningkatkan resiko mendapatkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), stunting, resiko perdarahan sebelum dan saat persalinan, bahkan dapat menyebabkan kematian ibu dan bayinya jika ibu hamil teresbut menderita anemia berat.
Hal ini tentunya dapat memberikan sumbangan besar terhadap angka kematian ibu bersalin, maupun angka kematian bayi. Anemia pada ibu hamil juga terkait dengan mortalitas dan morbiditas pada ibu dan bayi termasuk resiko keguguran, lahir mati, prematuritas dan berat lahir rendah. Anemia dalam kehamilan sangat mempengaruhi panjang badan bayi yang dilahirkan. Menurut Setianingrum (2015) menyatakan bahwa seorang ibu hamil dikatakan menderita anemia bila kadar hemoglobinnya dibawah 11 gr%.
Hal ini jelas menimbulkan gangguan pertumbuhan hasil konsepsi, sering terjadi immaturitas, prematuritas, cacat bawaan, atau janin lahir dengan berat badan yang rendah, stunting Kadar hemoglobin tidak normal pada ibu hamil akan menambah risiko mendapatkan bayi berat lahir rendah (BBLR), dan gangguan perkembangan otak, resiko perdarahan sebelum dan pada saat persalinan, stunting, bahkan dapat menyebabkan kematian ibu dan bayinya, jika ibu hamil tersebut menderita anemia berat. Keadaan ini disebabkan karena kurangnya suplai darah nutrisi akan oksigen pada placenta yang akan berpengaruh pada fungsi plasenta terhadap janin.
Upaya pemerintah dalam mencegah keajidan anemia pada ibu hamil adalah dengan pemberian TTD di posyandu maupun di sarana fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Selain itu masih perlunya pemantauan pemberian dan konsumsi Tablet Tambah Darah bagi remaja putri juga perlu mendapat perhatian khusus. Beberapa hal tersebut masih membutuhkan intervensi dan pembinaan secara konvergensi dan berkelanjutan.